TOPENG

Akhir-akhir ini banyak terlihat pemuda dan pemudi berpenampilan secara religius. Kaum pemudanya mencukur kumis dan memanjangkan janggutnya. Sedangkan kaum pemudinya mengenakan busana muslimah dan memakai jilbab. Dikantor-kantor, di kampus-kampus, disekolah-sekolah bahkan di jalan-jalan kita lihat orang-orang lalu lalang dalam balutan religi yang kental. Tapi apakah hal itu sudah menjamin bahwa religiusitas mereka membuat bangsa ini tenteram, bebas korupsi dan aman? Sayangnya tidak. Bangsa ini belum bisa melepaskan diri dari jeratan keserakahan yang makin lama makin membelitnya, sehingga hampir-hampir tidak menyisakan ruang untuk menarik nafas kebebasan.

Fenomena religius ini berawal dengan makin banyaknya bencana yang terjadi di negeri ini. Mulai gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, erupsi gunung api sampai krisis ekonomi yang tak kunjung mereda. Sepertinya pendapat Karl Marx, yang mengatakan bahwa agama adalah candu tempat pelarian manusia dari masalah kehidupan, ada benarnya dalam hal ini. Tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Hal ini dikarenakan manusia pada umumnya menganggap bencana itu adalah musibah atau cobaan dari Allah. Dan hanya Allahlah yang bisa menghentikannya. Sehingga manusia merasa, dengan lebih mendekatkan diri pada Allah, maka mereka akan terhindar dari bencana.

Kalau kita kaji dan telaah lebih dalam ayat-ayat Allah yang bertebaran disekeliling kita, maka dapat kita ketahui bahwa Allah itu sedemikian adil dan seimbangnya, sehingga Dia menciptakan segala sesuatu itu selalu berpasang-pasangan. Ada siang, ada malam. Ada sehat, ada sakit. Ada tinggi, ada rendah. Ada jauh, ada dekat. Ada laki-laki, ada perempuan. Ada hidup, ada mati. Ada pembangunan, ada kehancuran. Jadi bencana atau kehancuran itu sebenarnya adalah suatu Sunatullah yang sudah tersurat sejak alam semesta ini diciptakan. Hal itu terjadi bukan karena Tuhan tidak menyukai perilaku suatu kaum ataupun hanya untuk ajang uji coba, tapi lebih karena Allah konsisten dengan apa yang telah disuratkan olehNya sendiri. Keseimbangan alam ini mesti dijaga. Karena Dia dalah Rabb, atau pemelihara, alam semesta. Sedangkan apa yang dimaksud dengan cobaan dari Allah adalah, Allah mengetahui bahwa dalam diri setiap manusia ada unsur nafsu kesombongan, sehingga diperlukan suatu shock therapy agar manusia itu bisa mengingat kembali hakikat hidupnya. Maka diturunkanlah suatu peristiwa yang membuat kesombongan dalam diri manusia tersebut runtuh, sehingga dia merasa tidak ada artinya di hadapan kuasa Allah.

Pada dasarnya, manusia terdiri dari dua unsur, yaitu ruh dan nafsu. Nafsu terbesar manusia adalah sombong. Kesombongan itu yang menyebabkan manusia merasa lebih dari orang lain, bahkan terkadang merasa lebih dari Allah. Karena kesombongannya itu, manusia mempunyai prinsip "ingin untung, ogah rugi". Hal itu tercermin pula dalam pelaksanaan beribadahnya. Alangkah banyak manusia yang beribadah kepada Allah hanya untuk dua hal saja, yaitu; ingin mendapat pahala dan menjauhi dosa, atau ingin masuk surga, tidak mau masuk neraka. Sangat sedikit manusia yang mengerti hakikatnya ibadah yang sebenarnya.

Ibadah bearasal dari kata abdi, atau hamba / budak. Jadi orang yang beribadah itu sebenarnya manjadi hamba sahaya atau budak dari Allah. Mereka tidak berhak untuk menuntut apa-apa terhadap pengabdian yang telah mereka berikan pada Allah. Mereka hanya bisa menerima apapun yang diberikan oleh Allah. Entah mereka akan mendapat pahala atau dosa, ataupun mereka akan masuk surga atau neraka, itu sebenarnya tergantung dari pemberian Allah. Jadi manusia yang beribadah itu tidak akan mengharapkan pamrih atas ibadahnya. Kalau sampai dia mengharapkan pamrih, itu sama saja dengan dia berdagang dengan Allah. Padahal Allah tidak akan pernah merugikan makhluknya. Dia akan selalu memberikan yang terbaik, tergantung usaha yang dilakukan oleh makhlukNya. Itulah yang disebut dengan keikhlasan dalam beribadah.

Fenomena religiusitas ini juga makin terlihat dengan terbentuknya kelompok-kelompok keagamaan yang mendaulat diri mereka sebagai "polisi moral", yang beraksi menumpas segala bentuk kemaksiatan dengan jalan kekerasan. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Tapi karena kesombongan mereka, dengan dalih menegakkan ajaran agama, mereka menganggap kejadian di sekeliling mereka yang tidak sesuai dengan keinginan mereka adalah perbuatan setan yang terkutuk dan harus dibasmi dengan cara yang keras. Perusakan, pembakaran, peledakan dan pembunuhan seakan menjadi cara-cara yang dihalalkan oleh Allah dalam rangka menjaga ajaran agama mereka. Dan hal itu mereka sebut "perang di jalan Allah" atai "jihad fi sabilillah". Padahal Allah sangat mengutuk orang-orang yang berbuat kerusakan.

Pada hakikatnya manusia di muka bumi ini terlahir dan hidup sebagai makhluk yang merdeka. Karena itu manusia dibedakan dari makhluk lainnya dengan pemberian akal oleh Allah. Manusia juga diberikan sedikit sifat Allah, yaitu "berkehendak" (iradat), sehingga manusia bisa menentukan jalan hidupnya sesuai dengan keinginannya sendiri. Tidak ada manusia yang bisa memaksa manusia lainnya untuk mengikuti jalan hidupnya, karena hal itu sama saja dengan menantang sifat "berkehendak" yang telah diturunkan oleh Allah untuk manusia. Jadi jika ada manusia yang berbuat seperti itu, itu sama saja dengan melawan Allah. Tapi kebebasan yang dinikmati manusia itu bukannya tanpa aturan dan konsekuensi. Allah telah menurunkan aturanNya melalui para utusanNya, lengkap dengan konsekuensi yang harus diterima manusia atas pilihan jalan hidupnya.

Karena itu marilah kita kembali merenungi, apa sebenarnya hakikat hidup kita ini? Kita diturunkan ke dunia ini untuk menjadi khalifah (pengelola) terhadap alam semesta ini dan seisinya. Allah akan memintai pertanggungjawaban kita mengenai pengelolaan alam semesta ini, termasuk segala makhluk penghuninya, seperti hewan, tumbuhan, isi perut bumi, apa yang terhampar di permukaan bumi, waktu, dimensi dan lain sebagainya. Jika pengelolaan kita bisa dipertanggungjawabkan, maka kita akan menikmati imbalannya, dengan diberikannya konsesi wilayah surga di kehidupan kedua nantinya. Namun sebaliknya jika tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka kita akan merasakan pahitnya penderitaan yang ditimpakan kepada kita di wilayah neraka. Dan percayalah, bahwa yang namanya akhirat itu tidak sekekal adanya seperti yang selalu kita dengarkan dalam ceramah-ceramah para ustadz dan da'i-da'i. Semua makhluk, termasuk surga dan neraka, akan dilumatkan pada kiamat yang kedua nantinya, dan semua unsurnya agan bergabung kembali dengan Allah. Hanya Allah-lah yang Maha Kekal. Tidak ada yang lainnya.

Jadi kesimpulannya, segala topeng religius kita ternyata tidak bisa menutupi kebusukan hati dan perbuatan kita. Lebih baik kita mencoba jujur pada diri sendiri dan orang lain, dengan memperlihatkan diri kita apa adanya. Sehingga orang tidak akan menyangka kita orang yang munafik.

Comments

Popular posts from this blog

BUDAYA KORUPSI

Hakikat Cinta

Berkata Baik...Atau Diam...